6 Anggapan Keliru Tentang Orang Bali Yang Bikin Dahi Berkerut
Anggapan, lebih sering keliru ketimbang benarnya, termasuk anggapan (mungkin lebih tepat jika disebut ‘stereotype’) orang
luar mengenai orang Bali. Beberapa dari anggapan tersebut cukup
membuat dahi berkerut, terutama ketika mendengar untuk pertamakalinya.
Membuat dahi berkerut karena anggapan-anggapan itu cenderung miring,
mengagetkan sekaligus mengherankan; mengapa bisa ada anggapan seperti
itu, atau apa yang membuat anggapan seperti itu ada?
Semeton Bali yang tinggal di Bali, mungkin tak pernah mendengar
langsung. Tetapi yang tinggal atau banyak bergaul dengan orang luar Bali
yang tak pernah ke Bali, sesekali pasti pernah mendengar pendapat
mereka tentang orang Bali.
Saya pribadi pernah berada di luar Bali, di pulau Jawa
persisnya—terutama di seputaran Jawa Tengah, Yogyakarta, Tangerang
(Banten) dan Jakarta—meskipun tak terlalu lama. Selama bergaul disana
(waktu itu saya masih di usia 20-an), cukup sering mendengar pendapat
mereka tentang orang Bali, yang terusterang saja lumayan bikin ‘jengah.’
Tidak Bisa Bilang T? Jangan Minder, Pertahankan Ciri Khas KeBalianMu
Mengenai orang Bali yang tidak bisa mengucapkan “T” (baca: te) dengan
ujung lidah menyentuh pangkal gigi depan, sesungguhnya bukan anggapan,
tetapi fakta, mayoritas orang Bali memang demikian. Meskipun begitu,
tetap saja mengagetkan ketika baru menyadari untuk pertamakalinya, bahwa
itu adalah ‘sesuatu’ bagi mereka.
Pertama memperkenalkan diri di depan kelas Bahasa Inggris, begitu
saya menyebutkan daerah asal “Bali”, guru saya bertanya, “benarkah di
Bali banyak orang jual patung-patung?” Dengan polos saya bilang “iya”.
Seketika itu juga seisi kelas tertawa ger-ger-an.
Parahnya saya tidak ‘ngeh’ mengapa mereka begitu geli, yang ada saya
malah ikutan senyum-senyum tak jelas. Sampai guru saya bertanya lagi,
“kalau hari Sabtu, penjual patung buka nggak?”
Belum sempat saya menjawab, guru Bahasa Inggris yang botak di bagian
belakang itu sudah menyambar lagi dengan mengatakan, “Kalau di sini,
toko sepatu Bata hari Sabtu tutup, tapi tukang tahu tempe tetap buka,”
tentu dengan pengucapan “t” khas orang Bali. Sudah pasti seisi kelas
tertawa lagi sekeras-kerasnya. Mereka yang kantung kemihnya agak
‘nenggel’ mungkin sampai terkencing-kencing saking gelinya.
Sudah seekstrim itu saya baru ngeh. Dan sejak saat itu, saya sudah
tidak kaget lagi, bisa dibilang sudah kebal. Bagaimana tidak, mau di
ruang kelas, di kantin, di halte bis, di atas angkot, bahkan sampai di
tempat kerja, kawan karib hampir selalu meledek dengan meniru-niru logat
saya yang waktu itu memang belum fasih mengucapkan huruf “t”, seperti
logat mereka.
Yang sedikit agak menjengkelkan, kalau boleh disebut
demikian, setelah disana betahun-tahun, bahkan sampai saya pindah ke
Tangerang—untuk bekerja—dan sudah fasih mengucapkan huruf T ala orang
sana, bisa berbahasa Jawa atau menggunakan logat Jakarta dengan sangat
baik, entah mengapa masih saja diledekin oleh teman kerja di sana,
seolah-olah pengucapan huruf T saya masih asli Bali.
Sakit hati? Terusterang, waktu itu, IYA.
Tetapi karena sudah agak dewasa (sekitar usia 23-24 tahun), saya mulai sadar dan bertanya pada diri sendiri:
- Mengapa saya perlu berusaha keras untuk melafalkan huruf T ala mereka? Bukankah saya memang orang Bali?
- Mengapa harus mengubah ciri khas saya sebagi orang Bali? Apakah merasa malu menjadi orang Bali?
Pada dasarnya saya bukan orang yang fanatik mengenai kesukuan dan
agama. Sampai saat ini, setelah bertahun-tahun pulang ke Bali, saya
masih sering menggunakan bahasa Jawa atau Sunda atau logat
Jakarta—terutama ketika berkomunikasi dengan kawan-kawan yang ada di
sana. Dan itu, samasekali bukan persoalan; hanya kulit luar; no big
deal.
Kalau punya tambahan waktu, saya ingin mengajak semeton Bali,
terutama yang banyak bergaul di luar Bali, untuk melihat satu
perbandingan yang menurut saya cukup menarik—mungkin ada hal yang bisa
dipetik:
Orang India, yang kebetulan pengucapan huruf T-nya mirip dengan kita
di Bali, banyak yang bermigrasi ke negara-negara lain. Diantara mereka
banyak yang lulusan PhD atau MBA dari 10 Universitas ternama di Dunia
(Harvard, Princeton, Stanford, Northwestern, MIT, dan seterusnya). Tak
sedikit juga yang menjadi professor/dosen di universitas-universitas
tersebut, bahkan ada yang sampai menjadi
Dean.
Amit Singhal, Senior Vice President, Google Inc.
Jika mau mendata mereka satu persatu, kita bisa menemukan minimal
satu orang India yang duduk di kursi eksekutif perusahaan-perusahaan
yang masuk kelompok ‘Fortune 100” di AS sana. Diantara mereka banyak
juga yang menduduki posisi puncak macam Chief Executive Officer (CEO)
dan Vice President.
Dan, rata-rata, mereka sudah beranak-pinak di perantuan—yang paling banyak mungkin di Inggris, Canada dan Amerika Serikat.
Apa yang menarik dari mereka? Mayoritas masih mengucapan T dengan logat India kental—mirip cara orang Bali mengucapkan T.
Hubungannya dengan orang Bali? Mungkin tidak ada. Satu hal yang
jelas; logat pengucapan T dalam bahasa Inggris yang jauh dari
native-nya, samasekali tak menghalangi mereka untuk bersaing di
lingkungan global.
Pertanyaan berikutnya mungkin, apa hubungan antara mempertahankan
ciri khas ke-India-an dengan kesuksesan mereka? Entahlah. Di lain
kesempatan, mungkin perlu dicari tahu; apa hubungan antara memiliki akar
yang jelas, rasa percaya diri/daerah/suku/ras, dan kesuksesan.
Setidak-tidaknya, mungkin kita bisa belajar dari mereka, orang India,
yang tak pernah minder menggunakan logat aslinya di kancah global.
Sehingga, menurut saya pribadi, kiranya tak perlu melakukan koreksi
apapun terhadap anggapan bahwa “orang Bali tak bisa mengucapkan huruf
T”, bagaimanapun juga itu fakta, tak ada yang salah dengan itu, dan
bukan sesuatu yang perlu membuat merasa malu apalagi minder. Justru
pertahankan, karena itu mungkin menunjukan bahwa kita punya akar yang
jelas, tidak mudah tercerabut—oleh karenanya pantas untuk dihargai.
Yang mungkin perlu dikoreksi adalah anggapan-anggapan,
persepsi-persepsi, seterotype-stereotype, yang keliru tentang orang
Bali. Tentu tidak dalam bentuk ucapan saja, melainkan koreksi dalam
bentuk tindakan; buktikan bahwa anggapan-anggapan itu adalah keliru.
Dari pengalaman bergaul dengan orang di luar Bali, POPBALI
menemukan setidaknya 6 anggapan keliru tentang orang Bali yang membuat
dahi berkerut—terutama ketika mendengar untuk pertamakalinya, sebagai
berikut:
1. Orang Bali Itu Santai
Terutama kaum prianya, dipersepsikan sebagai “santai”. Sepintas lalu,
anggapan ini nampak seperti sanjungan; orang Bali bisa hidup makmur
meskipun kerjanya santai. Siapa yang tidak ingin kaya tanpa kerja keras?
Tetapi, menjadi anggapan ‘miring’ ketika itu kemudian dikaitkan
dengan perempuan Bali yang mandiri; seolah-olah, pria Bali itu
santai-santai, sementara perempuannya kerja keras. Bahasa vulgarnya,
“Pria Bali itu pemalas”.
Mereka yang sudah dewasa di tahun 90-an, sering disuguhi acaran
televisi—terutama di hari Kartini (21 April)—mengenai kemandirian
perempuan Bali, lengkap dengan tayangan klip beberapa perempuan Bali
yang sedang ‘nyuwun’ (menjunjung) bawaan berat-berat, beternak, atau
bekerja di sawah/ladang.
Menggunakan fenomena itu sebagai basis, mereka berkesimpulan bahwa
perempuan Bali menjadi begitu mandiri karena PRIA BALI RATA-RATA
PEMALAS; pekerjaannya hanya ‘mecik siap’ (pegang ayam jago aduan),
metajen (judi sabung ayam) atau jadi mangku (pengantar doa), paling
banter jadi pekerja seni yang hasilnya tak seberapa atau
nongkrong-nongkrong di Kuta.
Stereotype ini tidak main-main, kawan saya yang berkuliah di UGM,
bahkan konon memang diajari (oleh dosen)—dalam mata kuliah tentang etnik
Bali—bahwa begitulah karakter orang Bali; Prianya pemalas, oleh
karenanya para wanita Bali terpaksa harus bekerja keras.
Saya percaya pengajaran mata kuliah Antropologi di kampus,
terlebih-lebih sekaliber UGM, sudah menggunakan kajian ilmiah,
menggunakan basis data, bukan asumsi-asumsi. Namun penilitian
ilmiah—yang menggunakan uji statistikal matematis sekalipun—tidak
jaminan pasti menghasilkan simpulan yang valid, terutama jika sejak
hipotesa awal sudah subyektif; ini akan diikuti dengan pemilihan data
yang mengalami subyektif-selektif, lalu diuji dengan alat uji yang
disesuaikan dengan karakter data—yang sejak diproses pengumpulan sudah
terkontaminasi oleh ‘
evidence-error.’
Dalam hal ini saya tidak ingin menyampaikan bantahan; saya hanya
ingin menyuguhkan beberapa fakta yang jika ditambahkan kedalam
study-study yang telah ada, mungkin bisa memperkaya:
- Bahwa ada pria Bali yang hobi ‘mecik siap’ (pegang ayam jago)
sepanjang hari, IYA, bahkan ada yang sampai punya kurangan dengan jumlah
ayam jago yang mencapai ratusan ekor.
- Bahwa ada pria Bali yang jadi pemangku (pengantar doa), IYA (ini profesi mulia, bukan tercela.)
- Bahwa ada pria Bali yang menjadi pekerja seni—mungkin dengan hasil tak seberapa, IYA juga.
Fakta lainnya (yang tak boleh diabaikan begitu
saja): Ekonomi Bali cukup maju, jika dibandingkan dengan daerah-daerah
lain; ada ribuan usaha dalam berbagai bidang—mulai dari pariwisata
hingga agro bisnis, mulai dari usaha kerajinan sampe dealerships,
forwarding company, textile, property, agencies dlsb. Di Bali juga ada
kebun dan sawah—meskipun belakangan ini kian berkurang.
Nah, siapa yang menggarap itu semua? Siapa yang memadati jalanan kota
Denpasar hingga macet setiap pagi dan sore hari? Apakah pria non-Bali
semua? Berapa persentase jumlah pria non-Bali yang ada di Bali?
2. Orang Bali Penindas Perempuan
Masih menggunakan basis yang pertama di atas—dimana kaum perempuan di
Bali rata-rata menjadi begitu mandiri, sementara prianya santai-santai.
Ini dianggap bentuk penindasan, tidak melindungi kaum perempuan.
Disamping itu, anggapan yang sama juga lahir dari pengalaman mereka
menikahi perempuan Bali dan tidak mendapat warisan. Berbeda dengan
sistim kekerabatan di daerah lain dimana anak perempuan juga mendapat
warisan—meskipun dalam porsi yang lebih kecil jika dibandingkan anak
laki-laki.
Yang inipun saya tak ingin bantah, yang namanya anggapan ya
boleh-boleh saja. Saya hanya ingin menyuguhkan fakta yang mungkin bisa
menjadi bahan pembanding:
Bahwa pria Bali membiarkan kaum perempuannya bekerja dan menjadi mandiri, IYA. Tapi bukan karena mereka malas. Pria Bali juga bekerja seperti pria di daerah lain. Bedanya, di Bali, tidak ada prinsip:
“Istri cukup di rumah, momong anak, urus dapur, menunggu suami pulang kerja dan melayaninya.”
Tidak ada. Orang Bali berprinsip, semua gender (laki maupun
perempuan) sama-sama berhak untuk berkarya, mengkatualisasikan diri, dan
mengambil pernanan dalam mensejahterakan keluarga. Ini bentuk EQUALITY =
KESETARAAN, tentu substansinya jauh berbeda jika dibandingkan dengan
bentuk penindasan. Jangankan menindas, mengekangpun tidak.
Konsep kesetaraan pria-dan-wanita di Bali, juga bisa dilihat dari
pertunjukan ‘Arja’ dan ‘Sendratari’ (seni teater tradisional Bali)
dimana antara wanita dan pria sering bertukar peran. Misalnya: Karakter
Arjuna (pria) diperankan oleh pemain wanita, di sisi lainnya karakter
Galuh Liku (wanita) diperankan oleh pemain pria.
Bahwa anak gadis (perempuan) di Bali tidak mendapat warisan secara resmi, juga IYA.
Tetapi sebelum menganggap itu bentuk penindasan, kiranya perlu
diketahui bagaimana sistim pembagian waris di Bali, yang saya yakin tak
banyak diketahui oleh orang dari luar Bali.
Hal pokok yang perlu diketahui bahwa,
HAK atas warisan di Bali disertai oleh
KEWAJIBAN menjalankan
fungsi-fungsi sehubungan dengan tanah warisan tersebut (istilah balinya
“negen” atau memikul tanggungjawab). Setiap bidang tanah warisan di
‘empu’ (empon) oleh Pura, setidaknya pura keluarga yang disebut
“pemerajan”. Pura-pura dan Pemerajan perlu diupacarai, di’odalin’,
secara berkala. Proses penyelenggaraan upacara/odalan memakan biaya yang
kadang-kadang tidak sedikit. Dari mana dapat uang/barang untuk itu?
Dari hasil mengolah tanah warisan.
Perempuan Bali yang menikah, otomatis memasuki sebuah keluarga baru
yaitu keluarga suaminya. Saat itu, kewajibannya untuk menyelenggarakan
upcara dan odalan di rumah asalnya, dihapus, di satu sisinya. Di sisi
lainnya, dia memeproleh hak sekaligus kewajiban baru di keluarga
suaminya, termasuk hak atas harta sang suami (secara bersama-sama) dan
kewajiban untuk menyelenggarakan odalan dan upacara juga secara
bersama-sama.
Sehingga, bisa dibilang, kaum perempuan Bali memang kehilangan ‘HAK’
sekaligus kehilangan ‘KEWAJIBAN’ ditempat asalnya—ketika menikah, tetapi
mendapat ‘HAK’ dan ‘KEWAJIBAN’ di tempatnya yang baru dimana dia
diambil anak oleh keluarga pria yang menikahi. Apakah itu tidak cukup
adil?
3. Orang Bali Itu Bodoh
Anggapan ini khususnya ditujukan pada perempuan Bali. Dianggap bodoh karena 2 alasan.
Alasan pertama, mau saja disuruh kerja keras
sementara laki-lakinya pada santai. Ini jelas masih menggunakan basis
pertama. Ini dianggap suatu kebodohan mungkin, sekalilagi mungkin,
karena perempuan non-Bali jauh lebih santai dibandingkan perempuan Bali;
Kalau ini dianggap suatu keberuntungan, MUNGKIN. Tapi kalau suatu
bentuk kecerdasan, rasanya masih perlu dipertimbangkan lagi.
Alasan kedua, ini agak personal. Saat di Jakarta
saya berkenalan dan berkawan akrab dengan gadis asal Bali tetapi lahir
dan besar di Jakarta, kebetulan dia masih beragama Hindu, sehingga
sering ngobrol di Pura (Rawamangun). Suatu ketika dia bercerita tentang
bagaimana Mamahnya (yang kebetulan non-Bali) menasehati dirinya. Isi
nasehatnya, kurang lebih seperti ini:
“Kamu memang orang Bali [dari darah bapak], tetapi kelak
kalau sudah menikah, mama nggak mau kamu seperti perempuan Bali yang tak
peduli menjaga penampilan di depan suami. Suami pulang kerja harus
disambut dengan penampilan yang bersih dan menarik, supaya suamimu tidak
main-main di luar”.
Ingin rasanya tergelak mendengar cerita kawan saya itu. Tetapi tak
seberapa lama tiba-tiba saja terbayang wajah Ibu saya di desa (di Bali)
yang seingat-ingat saya tak pernah berdandan dengan bedak tebal, alis
dicukur plontos lalu diganti dengan pensil alis supaya nyeririt—‘medon
intaran’ dan gigi pakai behel dengan gincu tebal di bibir—supaya
‘ngembang rijasa’. Tak pernah sekalipun.
Ayah saya meninggalkan ibu dan kami sekeluarga, selamanya, sejak saya
masih duduk di bangku kelas I SMA. Praktis sejak saat itu hingga hari
ini (2013) beliaulah yang menjadi tulangpunggung sekaligus pancer
keluarga kecil kami. Beliau (Ibu saya) mampu membesarkan dan mendidik
kami (anak-anaknya) hingga dewasa, seorang diri, tentu bukan karena
sesuatu yang bersifat instant, melainkan karena sejak muda hingga
menikah sudah terbiasa menjadi wanita mandiri, ikut mengerahkan pikiran
dan tenaga dalam menjaga kelangsungan hidup keluarga yang kebetulan dari
golongan kurang mampu.
Apakah saat itu saya merasa beruntung bisa duduk berdampingan
dengan seorang gadis Bali modern kelahiran Jakarta yang pintar menjaga
penampilan supaya selalu menarik—yang menurut pandangan orang luar sana
mungkin dianggap lebih cerdas?
Entahlah, tak ingat persis. Mungkin hanya badan yang ada di sana,
sementara pikiran saya melayang jauh ke sebuah desa di ujung Utara pulau
Dewata. Saya merasa beruntung memiliki Ibu (seorang perempuan Bali)
yang, mungkin karena kekurangcerdasannya, lebih banyak menghabiskan
waktunya untuk bekerja dibandingkan berdandan, meskipun kami
anak-anaknya tak pernah menuntut beliau seperti itu. Jika tidak, saya
tak tahu nasib seperti apa yang kami anak-anaknya harus terima saat ini.
Egois? Bisa jadi.
Tapi saya, sekalilagi, bangga telah terlahir dari seorang
Ibu—perempuan Bali—yang mungkin tidak bisa disebut cerdas, namun tahu
keadaan, tahu menempatkan prioritas; memilih bekerja keras dibandingkan
berdandan untuk menarik perhatian duda yang bisa mengambil-alih
tugasnya—mungkin tidak cerdas, tetapi tahu caranya menjadi Ibu yang bisa
dibanggakan oleh anak-anaknya.
4. Orang Bali Doyan Judi
Khususnya pria Bali. Anggapan ini bersumber dari pengetahuan umum
(literature ke-etnik-an, media cetak dan televisi) tentang pria Bali
yang memiliki kebiasaan ‘metajen’ (judi sabung ayam) yang konon—menurut
sumber-sumber tersebut—tak bisa dilepaskan dari adat dan tradisi Bali.
Betul. Salahsatu adat Bali—yang hingga kini masih lestari—adalah adat
‘Tabuh Rah’ yang lumrah dilaksanakan pada upacara tertentu sebagai
bagian dari pelaksanaan ‘Butha Yadnya’ (=pengorbanan suci bagi para
Butha, agar mereka tidak menganggu keharmonisan alam sekala dan niskala –
alam material dan immaterial).
Dalam tradisi Tabuh Rah, ayam jago di adu, TETAPI tanpa judi. Bahwa
kemudian berkembang menjadi perjudian, tentu itu lain cerita. Sabung
ayam, seperti di daerah lain (silahkan baca cerita rakyat luar Bali
yaitu “Cindelaras”), adalah salahsatu bentuk perjudian yang sudah ada
sejak jaman dahulu kala.
Mereka yang ingin study tentang judi dalam omset besar, saya pikir,
perlu menggunakan Jakarta, Medan dan Surabaya sebagai sample data yang
lebih valid—tentu akan menghasilkan simpulan yang lebih valid juga.
5. Orang Bali Doyan Mabuk
Sama seperti judi yang diakitkan dengan tradisi ‘Tabuh Rah’,
stereotype bahwa orang Bali doyan mabuk, juga, konon menurut mereka, tak
bisa lepas dari tradisi orang Bali yang menggunakan alkohol (tuak,
arak, berem) dalam berbagai upacara keagamaan).
Itu betul. Tetapi penggunaan alkohol dalam persembahyangan dan
upacara-upacara keagamaan—misalnya: menuangkan arak tabuh ke tanah
sebelum mulai ‘muspa’ (berdoa)—adalah bagian dari ‘Butha Yadnya’ yaitu:
pengorbanan suci kepada para Butha agar tidak mengganggu jalannya
upacara/persembahyangan, BUKAN untuk diminum atau mabuk-mabukan.
Bahwa ada orang yang doyan minum alkohol, IYA, tentu saja orang Bali
tak ada bedanya dengan orang daerah lain, ada juga yang seperti itu.
Tetapi bukan berarti mereka semua doyan mabuk. Bayangkan, tidak usah
semua, kalau mayoritas orang Bali saja doyan mabuk, apa yang terjadi?
Tentu tidak akan ada pembangunan dan kemajuan ekonomi seperti sekarang,
bukan?
6. Orang Bali Penganut Seks Bebas (Free-sex)
Seks bebas (free-sex), dalam hal ini, adalah melakukan hubungan badan
sebelum terikat dalam perkawinan (menikah). Anggapan ini berangkat dari
2 kondisi, di Bali, yang kemudian dijadikan stereotype, yaitu:
Orang Bali cenderung premisif—tidak tegas-tegas menolak atau
melarang—terhadap keberadaan perempuan atau laki-laki yang menggunakan
pakaian terbuka (istilah mereka “pamer aurat”). Yang banyak disoroti
dalam konteks ini adalah para turis yang begitu bebasnya menggunakan
bikini atau celana pendek di tempat-tempat umum seperti pantai atau
jalanan di sepanjang Kuta dan legian, tanpa pernah ditegur.
Orang Bali juga cenderung premisif terhadap keberadaan segelintir
orang yang menjalankan kehidupan secara ‘samen-leven’ (hubungan tanpa
status, kumpul kebo) di tempat-tempat kost atau rumah-rumah kontrakan.
Bahwa pemerintah Bali tidak pernah mengeluarkan pernyataan resmi
tentang keduanya, IYA. Bahwa masyarakat Bali nyaris tak pernah melakukan
razia-razia dengan inisiatif sendiri untuk menolak keberadaan perilaku
itu—seperti yang dilakukan oleh FPI—juga, IYA.
Ada 2 pertanyaan penting, dalam konteks ini, yang perlu dijawab:
- Apakah karakter yang cenderung premisif itu dapat, dengan serta-merta, diartikan sebagai penganut seks bebas?
- Seberapa efektif pernyataan yang tegas-tegas menolak keberadaan
suatu perilaku menyimpang dalam masyarakat? Seberapa efektif razia-razia
frontal—seperti yang dilakukan di luar Bali—dalam menekan praktek
perilaku menyimpang seperti itu?
Untuk mengukur efektifitas, tentu harus melihat outputnya. Coba kita
lihat kasus anak tanpa orang tua. Dimana kasus pembuangan bayi yang
lebih banyak terjadi antara di Bali dan luar-Bali; di panti asuhan mana
lebih banyak terdapat anak tanpa orang tua antara di Bali dan luar-Bali.
Sebelum ada komparasi data semacam ini, stereotype ini kiranya terlalu
mengada-ada.
Bagaimana dengan hubungan seks di luar nikah yang tak menghasilkan
anak, atau diikuti dengan proses pernikahan setelah hamil? Mengukur ini
di Bali sama sulitnya dengan mengukur hal yang sama di luar-Bali.
Meskipun mungkin bikin dahi berkerut, agak kaget, campur heran, yang
namanya anggapan ya tetap anggapan, stereotype tetap stereotype;
sebagiannya—dan sampai pada derajat tertentu—mungkin benar, sementara
sebagiannya lagi mungkin tidak benar dan cenderung tak berdasar.
Meskipun kitalah seharusnya yang paling tahu tentang siapa dan
bagaimana kita yang sesungguhnya, mengabaikan penilaian orang lain
mungkin bukan langkah yang bijak. Jika mau mengambil sisi positifnya,
‘pandangan miring’ bisa dijadikan bahan instrospeksi diri, untuk
perbaikan-perbaikan kedepannya. Kita di Bali berprinsip, “
depang anake ngadanin”,
biarlah orang lain yang menilai, menganggap, mempersepsikan atau bahkan
men-stereotype-kan. Orang Bali tetaplah orang Bali, orang Bali yang
punya akar dan karakter jelas.