Minggu, 31 Maret 2013

6 Anggapan Keliru Tentang Orang Bali Yang Bikin Dahi Berkerut

6 Anggapan Keliru Tentang Orang Bali Yang Bikin Dahi Berkerut

6 Anggapan Keliru Tentang Orang Bali Yang Bikin Dahi Berkerut

Anggapan, lebih sering keliru ketimbang benarnya, termasuk anggapan (mungkin lebih tepat jika disebut ‘stereotype’) orang luar mengenai orang Bali.  Beberapa dari anggapan tersebut cukup membuat dahi berkerut, terutama ketika mendengar untuk pertamakalinya.
Membuat dahi berkerut karena anggapan-anggapan itu cenderung miring, mengagetkan sekaligus mengherankan; mengapa bisa ada anggapan seperti itu, atau apa yang membuat anggapan seperti itu ada?
Semeton Bali yang tinggal di Bali, mungkin tak pernah mendengar langsung. Tetapi yang tinggal atau banyak bergaul dengan orang luar Bali yang tak pernah ke Bali, sesekali pasti pernah mendengar pendapat mereka tentang orang Bali.
Saya pribadi pernah berada di luar Bali, di pulau Jawa persisnya—terutama di seputaran Jawa Tengah, Yogyakarta, Tangerang (Banten) dan Jakarta—meskipun tak terlalu lama. Selama bergaul disana (waktu itu saya masih di usia 20-an), cukup sering mendengar pendapat mereka tentang orang Bali, yang terusterang saja lumayan bikin ‘jengah.’

Tidak Bisa Bilang T? Jangan Minder, Pertahankan Ciri Khas KeBalianMu

Mengenai orang Bali yang tidak bisa mengucapkan “T” (baca: te) dengan ujung lidah menyentuh pangkal gigi depan, sesungguhnya bukan anggapan, tetapi fakta, mayoritas orang Bali memang demikian. Meskipun begitu, tetap saja mengagetkan ketika baru menyadari untuk pertamakalinya, bahwa itu adalah ‘sesuatu’ bagi mereka.
Di Bali Banyak Orang Jual Patung
Pertama memperkenalkan diri di depan kelas Bahasa Inggris, begitu saya menyebutkan daerah asal “Bali”, guru saya bertanya, “benarkah di Bali banyak orang jual patung-patung?” Dengan polos saya bilang “iya”. Seketika itu juga seisi kelas tertawa ger-ger-an.
Parahnya saya tidak ‘ngeh’ mengapa mereka begitu geli, yang ada saya malah ikutan senyum-senyum tak jelas. Sampai guru saya bertanya lagi, “kalau hari Sabtu, penjual patung buka nggak?”
Belum sempat saya menjawab, guru Bahasa Inggris yang botak di bagian belakang itu sudah menyambar lagi dengan mengatakan, “Kalau di sini, toko sepatu Bata hari Sabtu tutup, tapi tukang tahu tempe tetap buka,” tentu dengan pengucapan “t” khas orang Bali. Sudah pasti seisi kelas tertawa lagi sekeras-kerasnya. Mereka yang kantung kemihnya agak ‘nenggel’ mungkin sampai terkencing-kencing saking gelinya.
Sudah seekstrim itu saya baru ngeh. Dan sejak saat itu, saya sudah tidak kaget lagi, bisa dibilang sudah kebal. Bagaimana tidak, mau di ruang kelas, di kantin, di halte bis, di atas angkot, bahkan sampai di tempat kerja, kawan karib hampir selalu meledek dengan meniru-niru logat saya yang waktu itu memang belum fasih mengucapkan huruf “t”, seperti logat mereka.
Yang sedikit agak menjengkelkan, kalau boleh disebut demikian, setelah disana betahun-tahun, bahkan sampai saya pindah ke Tangerang—untuk bekerja—dan sudah fasih mengucapkan huruf T ala orang sana, bisa berbahasa Jawa atau menggunakan logat Jakarta dengan sangat baik, entah mengapa masih saja diledekin oleh teman kerja di sana, seolah-olah pengucapan huruf T saya masih asli Bali.
Sakit hati? Terusterang, waktu itu, IYA.
Tetapi karena sudah agak dewasa (sekitar usia 23-24 tahun), saya mulai sadar dan bertanya pada diri sendiri:
  • Mengapa saya perlu berusaha keras untuk melafalkan huruf T ala mereka? Bukankah saya memang orang Bali?
  • Mengapa harus mengubah ciri khas saya sebagi orang Bali? Apakah merasa malu menjadi orang Bali?
Pada dasarnya saya bukan orang yang fanatik mengenai kesukuan dan agama. Sampai saat ini, setelah bertahun-tahun pulang ke Bali, saya masih sering menggunakan bahasa Jawa atau Sunda atau logat Jakarta—terutama ketika berkomunikasi dengan kawan-kawan yang ada di sana. Dan itu, samasekali bukan persoalan; hanya kulit luar; no big deal.
Kalau punya tambahan waktu, saya ingin mengajak semeton Bali, terutama yang banyak bergaul di luar Bali, untuk melihat satu perbandingan yang menurut saya cukup menarik—mungkin ada hal yang bisa dipetik:
Orang India, yang kebetulan pengucapan huruf T-nya mirip dengan kita di Bali, banyak yang bermigrasi ke negara-negara lain. Diantara mereka banyak yang lulusan PhD atau MBA dari 10 Universitas ternama di Dunia (Harvard, Princeton, Stanford, Northwestern, MIT, dan seterusnya). Tak sedikit juga yang menjadi professor/dosen di universitas-universitas tersebut, bahkan ada yang sampai menjadi Dean.
Amit Singhal
Amit Singhal, Senior Vice President, Google Inc.
Jika mau mendata mereka satu persatu, kita bisa menemukan minimal satu orang India yang duduk di kursi eksekutif perusahaan-perusahaan yang masuk kelompok ‘Fortune 100” di AS sana. Diantara mereka banyak juga yang menduduki posisi puncak macam Chief Executive Officer (CEO) dan Vice President.
Dan, rata-rata, mereka sudah beranak-pinak di perantuan—yang paling banyak mungkin di Inggris, Canada dan Amerika Serikat.
Apa yang menarik dari mereka? Mayoritas masih mengucapan T dengan logat India kental—mirip cara orang Bali mengucapkan T.
Hubungannya dengan orang Bali? Mungkin tidak ada. Satu hal yang jelas; logat pengucapan T dalam bahasa Inggris yang jauh dari native-nya, samasekali tak menghalangi mereka untuk bersaing di lingkungan global.
Pertanyaan berikutnya mungkin, apa hubungan antara mempertahankan ciri khas ke-India-an dengan kesuksesan mereka? Entahlah. Di lain kesempatan, mungkin perlu dicari tahu; apa hubungan antara memiliki akar yang jelas, rasa percaya diri/daerah/suku/ras, dan kesuksesan.
Setidak-tidaknya, mungkin kita bisa belajar dari mereka, orang India, yang tak pernah minder menggunakan logat aslinya di kancah global.
Sehingga, menurut saya pribadi, kiranya tak perlu melakukan koreksi apapun terhadap anggapan bahwa “orang Bali tak bisa mengucapkan huruf T”, bagaimanapun juga itu fakta, tak ada yang salah dengan itu, dan bukan sesuatu yang perlu membuat merasa malu apalagi minder. Justru pertahankan, karena itu mungkin menunjukan bahwa kita punya akar yang jelas, tidak mudah tercerabut—oleh karenanya pantas untuk dihargai.
Yang mungkin perlu dikoreksi adalah anggapan-anggapan, persepsi-persepsi, seterotype-stereotype, yang keliru tentang orang Bali. Tentu tidak dalam bentuk ucapan saja, melainkan koreksi dalam bentuk tindakan; buktikan bahwa anggapan-anggapan itu adalah keliru.
Dari pengalaman bergaul dengan orang di luar Bali, POPBALI menemukan setidaknya 6 anggapan keliru tentang orang Bali yang membuat dahi berkerut—terutama ketika mendengar untuk pertamakalinya, sebagai berikut:

1. Orang Bali Itu Santai

Terutama kaum prianya, dipersepsikan sebagai “santai”. Sepintas lalu, anggapan ini nampak seperti sanjungan; orang Bali bisa hidup makmur meskipun kerjanya santai. Siapa yang tidak ingin kaya tanpa kerja keras?
Tetapi, menjadi anggapan ‘miring’  ketika itu kemudian dikaitkan dengan perempuan Bali yang mandiri; seolah-olah, pria Bali itu santai-santai, sementara perempuannya kerja keras. Bahasa vulgarnya, “Pria Bali itu pemalas”.
Mereka yang sudah dewasa di tahun 90-an, sering disuguhi acaran televisi—terutama di hari Kartini (21 April)—mengenai kemandirian perempuan Bali, lengkap dengan tayangan klip beberapa perempuan Bali yang sedang ‘nyuwun’ (menjunjung) bawaan berat-berat, beternak, atau bekerja di sawah/ladang.
Orang Bali Pemalas
Menggunakan fenomena itu sebagai basis, mereka berkesimpulan bahwa perempuan Bali menjadi begitu mandiri karena PRIA BALI RATA-RATA PEMALAS; pekerjaannya hanya ‘mecik siap’ (pegang ayam jago aduan), metajen (judi sabung ayam) atau jadi mangku (pengantar doa), paling banter jadi pekerja seni yang hasilnya tak seberapa atau nongkrong-nongkrong di Kuta.
Stereotype ini tidak main-main, kawan saya yang berkuliah di UGM, bahkan konon memang diajari (oleh dosen)—dalam mata kuliah tentang etnik Bali—bahwa begitulah karakter orang Bali; Prianya pemalas, oleh karenanya para wanita Bali terpaksa harus bekerja keras.
Saya percaya pengajaran mata kuliah Antropologi di kampus, terlebih-lebih sekaliber UGM, sudah menggunakan kajian ilmiah, menggunakan basis data, bukan asumsi-asumsi. Namun penilitian ilmiah—yang menggunakan uji statistikal matematis sekalipun—tidak jaminan pasti menghasilkan simpulan yang valid, terutama jika sejak hipotesa awal sudah subyektif; ini akan diikuti dengan pemilihan data yang mengalami subyektif-selektif, lalu diuji dengan alat uji yang disesuaikan dengan karakter data—yang sejak diproses pengumpulan sudah terkontaminasi oleh ‘evidence-error.’
Dalam hal ini saya tidak ingin menyampaikan bantahan; saya hanya ingin menyuguhkan beberapa fakta yang jika ditambahkan kedalam study-study yang telah ada, mungkin bisa memperkaya:
  • Bahwa ada pria Bali yang hobi ‘mecik siap’ (pegang ayam jago) sepanjang hari, IYA, bahkan ada yang sampai punya kurangan dengan jumlah ayam jago yang mencapai ratusan ekor.
  • Bahwa ada pria Bali yang jadi pemangku (pengantar doa), IYA (ini profesi mulia, bukan tercela.)
  • Bahwa ada pria Bali yang menjadi pekerja seni—mungkin dengan hasil tak seberapa, IYA juga.
Mecik Siap
Fakta lainnya (yang tak boleh diabaikan begitu saja): Ekonomi Bali cukup maju, jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain; ada ribuan usaha dalam berbagai bidang—mulai dari pariwisata hingga agro bisnis, mulai dari usaha kerajinan sampe dealerships, forwarding company, textile, property, agencies dlsb. Di Bali juga ada kebun dan sawah—meskipun belakangan ini kian berkurang.
Nah, siapa yang menggarap itu semua? Siapa yang memadati jalanan kota Denpasar hingga macet setiap pagi dan sore hari? Apakah pria non-Bali semua? Berapa persentase jumlah pria non-Bali yang ada di Bali?

2. Orang Bali Penindas Perempuan

Masih menggunakan basis yang pertama di atas—dimana kaum perempuan di Bali rata-rata menjadi begitu mandiri, sementara prianya santai-santai. Ini dianggap bentuk penindasan, tidak melindungi kaum perempuan.
Disamping itu, anggapan yang sama juga lahir dari pengalaman mereka menikahi perempuan Bali dan tidak mendapat warisan. Berbeda dengan sistim kekerabatan di daerah lain dimana anak perempuan juga mendapat warisan—meskipun dalam porsi yang lebih kecil jika dibandingkan anak laki-laki.
Orang Bali Penindas Perempuan
Yang inipun saya tak ingin bantah, yang namanya anggapan ya boleh-boleh saja. Saya hanya ingin menyuguhkan fakta yang mungkin bisa menjadi bahan pembanding:
Bahwa pria Bali membiarkan kaum perempuannya bekerja dan menjadi mandiri, IYA. Tapi bukan karena mereka malas. Pria Bali juga bekerja seperti pria di daerah lain. Bedanya, di Bali, tidak ada prinsip:
“Istri cukup di rumah, momong anak, urus dapur, menunggu suami pulang kerja dan melayaninya.”
Tidak ada.  Orang Bali berprinsip,  semua gender (laki maupun perempuan) sama-sama berhak untuk berkarya, mengkatualisasikan diri, dan mengambil pernanan dalam mensejahterakan keluarga. Ini bentuk EQUALITY = KESETARAAN, tentu substansinya jauh berbeda jika dibandingkan dengan bentuk penindasan. Jangankan menindas, mengekangpun tidak.
Konsep kesetaraan pria-dan-wanita di Bali, juga bisa dilihat dari pertunjukan ‘Arja’ dan ‘Sendratari’ (seni teater tradisional Bali) dimana antara wanita dan pria sering bertukar peran. Misalnya: Karakter Arjuna (pria) diperankan oleh pemain wanita, di sisi lainnya karakter Galuh Liku (wanita) diperankan oleh pemain pria.
Bahwa anak gadis (perempuan) di Bali tidak mendapat warisan secara resmi, juga IYA. Tetapi sebelum menganggap itu bentuk penindasan, kiranya perlu diketahui bagaimana sistim pembagian waris di Bali, yang saya yakin tak banyak diketahui oleh orang dari luar Bali.
Hal pokok yang perlu diketahui bahwa, HAK atas warisan di Bali disertai oleh KEWAJIBAN menjalankan fungsi-fungsi sehubungan dengan tanah warisan tersebut (istilah balinya “negen” atau memikul tanggungjawab). Setiap bidang tanah warisan di ‘empu’ (empon) oleh Pura, setidaknya pura keluarga yang disebut “pemerajan”. Pura-pura dan Pemerajan perlu diupacarai, di’odalin’, secara berkala. Proses penyelenggaraan upacara/odalan memakan biaya yang kadang-kadang tidak sedikit. Dari mana dapat uang/barang untuk itu? Dari hasil mengolah tanah warisan.
Perempuan Bali yang menikah, otomatis memasuki sebuah keluarga baru yaitu keluarga suaminya. Saat itu, kewajibannya untuk menyelenggarakan upcara dan odalan di rumah asalnya, dihapus, di satu sisinya. Di sisi lainnya, dia memeproleh hak sekaligus kewajiban baru di keluarga suaminya, termasuk hak atas harta sang suami (secara bersama-sama) dan kewajiban untuk menyelenggarakan odalan dan upacara juga secara bersama-sama.
Sehingga, bisa dibilang, kaum perempuan Bali memang kehilangan ‘HAK’ sekaligus kehilangan ‘KEWAJIBAN’ ditempat asalnya—ketika menikah, tetapi mendapat ‘HAK’  dan ‘KEWAJIBAN’ di tempatnya yang baru dimana dia diambil anak oleh keluarga pria yang menikahi. Apakah itu tidak cukup adil?

3. Orang Bali Itu Bodoh

Anggapan ini khususnya ditujukan pada perempuan Bali. Dianggap bodoh karena 2 alasan.
Alasan pertama, mau saja disuruh kerja keras sementara laki-lakinya pada santai. Ini jelas masih menggunakan basis pertama. Ini dianggap suatu kebodohan mungkin, sekalilagi mungkin, karena perempuan non-Bali jauh lebih santai dibandingkan perempuan Bali; Kalau ini dianggap suatu keberuntungan, MUNGKIN. Tapi kalau suatu bentuk kecerdasan, rasanya masih perlu dipertimbangkan lagi.
Alasan kedua, ini agak personal. Saat di Jakarta saya berkenalan dan berkawan akrab dengan gadis asal Bali tetapi lahir dan besar di Jakarta, kebetulan dia masih beragama Hindu, sehingga sering ngobrol di Pura (Rawamangun). Suatu ketika dia bercerita tentang bagaimana Mamahnya (yang kebetulan non-Bali) menasehati dirinya. Isi nasehatnya, kurang lebih seperti ini:
“Kamu memang orang Bali [dari darah bapak], tetapi kelak kalau sudah menikah, mama nggak mau kamu seperti perempuan Bali yang tak peduli menjaga penampilan di depan suami. Suami pulang kerja harus disambut dengan penampilan yang bersih dan menarik, supaya suamimu tidak main-main di luar”.
Ingin rasanya tergelak mendengar cerita kawan saya itu. Tetapi tak seberapa lama tiba-tiba saja terbayang wajah Ibu saya di desa (di Bali) yang seingat-ingat saya tak pernah berdandan dengan bedak tebal, alis dicukur plontos lalu diganti dengan pensil alis supaya nyeririt—‘medon intaran’ dan gigi pakai behel dengan gincu tebal di bibir—supaya ‘ngembang rijasa’. Tak pernah sekalipun.
Orang Bali Itu Bodoh dan Bebal
Ayah saya meninggalkan ibu dan kami sekeluarga, selamanya, sejak saya masih duduk di bangku kelas I SMA. Praktis sejak saat itu hingga hari ini (2013) beliaulah yang menjadi tulangpunggung sekaligus pancer keluarga kecil kami. Beliau (Ibu saya) mampu membesarkan dan mendidik kami (anak-anaknya) hingga dewasa, seorang diri, tentu bukan karena sesuatu yang bersifat instant, melainkan karena sejak muda hingga menikah sudah terbiasa menjadi wanita mandiri, ikut mengerahkan pikiran dan tenaga dalam menjaga kelangsungan hidup keluarga yang kebetulan dari golongan kurang mampu.
Apakah saat itu saya merasa beruntung bisa duduk berdampingan dengan seorang gadis Bali modern kelahiran Jakarta yang pintar menjaga penampilan supaya selalu menarik—yang menurut pandangan orang luar sana mungkin dianggap lebih cerdas?
Entahlah, tak ingat persis. Mungkin hanya badan yang ada di sana, sementara pikiran saya melayang jauh ke sebuah desa di ujung Utara pulau Dewata. Saya merasa beruntung memiliki Ibu (seorang perempuan Bali) yang, mungkin karena kekurangcerdasannya, lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bekerja dibandingkan berdandan, meskipun kami anak-anaknya tak pernah menuntut beliau seperti itu. Jika tidak, saya tak tahu nasib seperti apa yang kami anak-anaknya harus terima saat ini.
Egois? Bisa jadi.
Tapi saya, sekalilagi, bangga telah terlahir dari seorang Ibu—perempuan Bali—yang mungkin tidak bisa disebut cerdas, namun tahu keadaan, tahu menempatkan prioritas; memilih bekerja keras dibandingkan berdandan untuk menarik perhatian duda yang bisa mengambil-alih tugasnya—mungkin tidak cerdas, tetapi tahu caranya menjadi Ibu yang bisa dibanggakan oleh anak-anaknya.

4. Orang Bali Doyan Judi

Orang bali itu Penjudi
Khususnya pria Bali. Anggapan ini bersumber dari pengetahuan umum (literature ke-etnik-an, media cetak dan televisi) tentang pria Bali yang memiliki kebiasaan ‘metajen’ (judi sabung ayam) yang konon—menurut sumber-sumber tersebut—tak bisa dilepaskan dari adat dan tradisi Bali.
Betul. Salahsatu adat Bali—yang hingga kini masih lestari—adalah adat ‘Tabuh Rah’ yang lumrah dilaksanakan pada upacara tertentu sebagai bagian dari pelaksanaan ‘Butha Yadnya’ (=pengorbanan suci bagi para Butha, agar mereka tidak menganggu keharmonisan alam sekala dan niskala – alam material dan immaterial).
Dalam tradisi Tabuh Rah, ayam jago di adu, TETAPI tanpa judi. Bahwa kemudian berkembang menjadi perjudian, tentu itu lain cerita. Sabung ayam, seperti di daerah lain (silahkan baca cerita rakyat luar Bali yaitu “Cindelaras”), adalah salahsatu bentuk perjudian yang sudah ada sejak jaman dahulu kala.
Mereka yang ingin study tentang judi dalam omset besar, saya pikir, perlu menggunakan Jakarta, Medan dan Surabaya sebagai sample data yang lebih valid—tentu akan menghasilkan simpulan yang lebih valid juga.

5. Orang Bali Doyan Mabuk

Orang Bali Doyan Mabuk
Sama seperti judi yang diakitkan dengan tradisi ‘Tabuh Rah’, stereotype bahwa orang Bali doyan mabuk, juga, konon menurut mereka, tak bisa lepas dari tradisi orang Bali yang menggunakan alkohol (tuak, arak, berem) dalam berbagai upacara keagamaan).
Itu betul. Tetapi penggunaan alkohol dalam persembahyangan dan upacara-upacara keagamaan—misalnya: menuangkan arak tabuh ke tanah sebelum mulai ‘muspa’ (berdoa)—adalah bagian dari ‘Butha Yadnya’ yaitu: pengorbanan suci kepada para Butha agar tidak mengganggu jalannya upacara/persembahyangan, BUKAN untuk diminum atau mabuk-mabukan.
Bahwa ada orang yang doyan minum alkohol, IYA, tentu saja orang Bali tak ada bedanya dengan orang daerah lain, ada juga yang seperti itu. Tetapi bukan berarti mereka semua doyan mabuk. Bayangkan, tidak usah semua, kalau mayoritas orang Bali saja doyan mabuk, apa yang terjadi? Tentu tidak akan ada pembangunan dan kemajuan ekonomi seperti sekarang, bukan?

6. Orang Bali Penganut Seks Bebas (Free-sex)

Seks bebas (free-sex), dalam hal ini, adalah melakukan hubungan badan sebelum terikat dalam perkawinan (menikah). Anggapan ini berangkat dari 2 kondisi, di Bali, yang kemudian dijadikan stereotype, yaitu:
Orang Bali cenderung premisif—tidak tegas-tegas menolak atau melarang—terhadap keberadaan perempuan atau laki-laki yang menggunakan pakaian terbuka (istilah mereka “pamer aurat”). Yang banyak disoroti dalam konteks ini adalah para turis yang begitu bebasnya menggunakan bikini atau celana pendek di tempat-tempat umum seperti pantai atau jalanan di sepanjang Kuta dan legian, tanpa pernah ditegur.

Orang Bali Penganut Seks Bebas
Orang Bali juga cenderung premisif terhadap keberadaan segelintir orang yang menjalankan kehidupan secara ‘samen-leven’ (hubungan tanpa status, kumpul kebo) di tempat-tempat kost atau rumah-rumah kontrakan.
Bahwa pemerintah Bali tidak pernah mengeluarkan pernyataan resmi tentang keduanya, IYA. Bahwa masyarakat Bali nyaris tak pernah melakukan razia-razia dengan inisiatif sendiri untuk menolak keberadaan perilaku itu—seperti yang dilakukan oleh FPI—juga, IYA.
Ada 2 pertanyaan penting, dalam konteks ini, yang perlu dijawab:
  • Apakah karakter yang cenderung premisif itu dapat, dengan serta-merta, diartikan sebagai penganut seks bebas?
  • Seberapa efektif pernyataan yang tegas-tegas menolak keberadaan suatu perilaku menyimpang dalam masyarakat? Seberapa efektif razia-razia frontal—seperti yang dilakukan di luar Bali—dalam menekan praktek perilaku menyimpang seperti itu?
Untuk mengukur efektifitas, tentu harus melihat outputnya. Coba kita lihat kasus anak tanpa orang tua. Dimana kasus pembuangan bayi yang lebih banyak terjadi antara di Bali dan luar-Bali; di panti asuhan mana lebih banyak terdapat anak tanpa orang tua antara di Bali dan luar-Bali. Sebelum ada komparasi data semacam ini, stereotype ini kiranya terlalu mengada-ada.
Bagaimana dengan hubungan seks di luar nikah yang tak menghasilkan anak, atau diikuti dengan proses pernikahan setelah hamil? Mengukur ini di Bali sama sulitnya dengan mengukur hal yang sama di luar-Bali.
Meskipun mungkin bikin dahi berkerut, agak kaget, campur heran, yang namanya anggapan ya tetap anggapan, stereotype tetap stereotype; sebagiannya—dan sampai pada derajat tertentu—mungkin benar, sementara sebagiannya lagi mungkin tidak benar dan cenderung tak berdasar.
Meskipun kitalah seharusnya yang paling tahu tentang siapa dan bagaimana kita yang sesungguhnya, mengabaikan penilaian orang lain mungkin bukan langkah yang bijak. Jika mau mengambil sisi positifnya, ‘pandangan miring’ bisa dijadikan bahan instrospeksi diri, untuk perbaikan-perbaikan kedepannya. Kita di Bali berprinsip, “depang anake ngadanin”, biarlah orang lain yang menilai, menganggap, mempersepsikan atau bahkan men-stereotype-kan. Orang Bali tetaplah orang Bali, orang Bali yang punya akar dan karakter jelas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar