Minggu, 31 Maret 2013

Bali Singkatan Dari Banyak Libur?

Bali Singkatan Dari Banyak Libur?

Bali Singkatan Dari Banyak Libur?

    “Seperti namanya, ‘Bali’, ya memang ‘banyak libur’ di pulau ini,” seorang Manajer Personalia lokal memberikan alasan kepada atasannya seorang General Manager (GM) berkewarganegaraan asing, ketika ditanya mengapa karyawan minta libur 3 hari untuk ber Hari Raya Galungan, sekitar 5-6 tahun yang lalu (penulis lupa persisnya).
    “Oh ya? Saya baru tahu ternyata Bali singkatan dari Banyak Libur,” mister GM merespon sambil menggeleng-gelengkan kepala. Nampak jelas, dari bahasa tubuhnya, dia ogah membubuhkan tandatangan di atas segepok blanko permintaan cuti karyawan yang disodorkan oleh Pak Manager Personalia.
    Menyaksikan percakapan ‘ngeri-ngeri sedap’ itu (meminjam ekspresinya Sutan Bathoegana), saya yang kebetulan berada di ruangan GM—untuk keperluan lain—minta ijin untuk memeriksa tumpukan blanko cuti itu.
    Begitu tumpukan kertas cuti itu pindah tangan, tanpa periksa ini-itu langsung saya tandatangani lembar-demi-lembar.
    “Aku tidak keberatan kamu tandatangan cuti,” mister GM buka ‘front’ sambil merapat ke kursi dimana saya duduk.
    “Tentu saja,” saya jawab sambil terus menandatangani kertas cuti yang jumlahnya (jika tak salah) tak kurang dari 250 lembaran.
    Dalam kasus itu, kebetulan saya memiliki kewenangan yang sama besarnya dengan mister GM. Dia membawahi Operasional, sedangkan saya membawahi Keuangan, Akuntansi, Personalia, dan Teknologi Informasi. Sehingga permohonan cuti boleh ditandatangani oleh GM atau saya.
    “Tapi aku ingin tahu, apakah karena kamu Orang Bali sehingga mau tandangan cuti 3 hari untuk hari raya ‘Galunggan’?” mister GM bertanya.
    “Iya. Karena aku Orang Bali lah maka aku tahu mereka berhak mendapatkan itu” jawab saya singkat.
    “But, 3-5 days?” si mister GM bertanya setengah tak terima. “Itu terlalu lama” ia meneruskan dengan nada protes.
    Selesai tandatangan kertas cuti. Saya ajak manajer personalia dan GM ke ruangan saya untuk diskusi lebih lanjut.
    “Apakah Desember nanti kamu pulang ke Amerika?” saya awali diskusi dengan pertanyaan.
    “Tentu saja,” mister GM menjawab singkat. “Tanggal berapa?” saya bertanya lagi. Menghilang beberapa saat dan kembali dengan jawaban, “tanggal 14 Desember sampai dengan 7 Januari”.
    Wow… wow… 23 hari… apakah itu tidak terlalu lama?” saya bertanya.
    Mister GM ngeloyor ke ruangannya dengan wajah setengah tak percaya atau tak puas. Entah apa yang ada dalam pikirannya, saya tidak tahu persis. Sehingga yang masih di ruangan saya tinggal Manajer Personalia yang bilang “Bali singkatan dari Banyak Libur.”
    “Kemarin hari raya, kamu pulang kampung berapa lama?” saya membuka pembicaraan.
    “Biasa, 7 hari,” pak manajer menjawab.
    “Dan karena staf Bali minta libur galungan 3 hari kamu bilang Bali singkatan dari ‘Banyak Libur’?” saya tanya lagi.
    “Tapi kan mereka Galungannya 2 kali setahun, belum lagi Kuningan, Nyepi, Pagerwesi, dan lain sebaginya,” Ia menjawab.
    Lalu saya menulis rincian hari libur yang biasa diambil oleh staf Bali, di atas secarik kertas, sbb:
    Galungan 3 hari setiap 7 bulan = 6 hari selama 14 bulan = 5.14 hari/tahun.
    Nyepi = 2.5 hari setiap tahun
    Kuningan 1 hari setiap 7 bulan = 2 hari setiap 14 bulan = 1.71 hari/tahun
    Pagerwesi 1 hari setiap 7 bulan = 2 hari setiap 14 bulan = 1.71 hari/tahun
    Total libur staf Bali = 11.06 hari per tahun.
    “Koq Galungan setiap 7 bulan, bukannya setiap 6 bulan?” manajer personalia bertanya.
    “Nah ini yang saya tidak mengerti, kenapa sudah bertahun-tahun kamu jadi manajer personalia di Bali tapi belum tahu kalau Galungan itu hitungannya 6 bulan Bali yang kurang-lebih sama dengan 7 bulan kalender masehi,” saya jawab.
    “Yatapi kan tetap saja 11 hari per tahun, sementara saya cuma 7 hari,” ia merespon.
    “Itu kan hari raya utamamu saja, yang 1 hari 1 hari kan banyak dalam setahun. Coba kamu total semuanya” saya jawab sambil sodorkan kalender.
    “14 hari pak,” ia menjawab setelah membolak-balik kalender.
    “Extra off 1 jam istirahat siang setiap 1 minggu sekali, jika ditotal selama 1 tahun jadi berapa jam?” saya bertanya lagi.
    “48 jam, pak,” ia menjawab setelah memencet-mencet kalkulator.
    Jadi total liburmu 16 hari dalam setahun. Sementara staf Bali hanya minta libur 11 hari setahun, dan kamu bilang Bali singkatan dari Banyak Libur?
    “Iya sih, tapi kan mereka juga banyak odalan-odalan,” ia berkelit dengan nada yang kelihatannya belum cukup puas.
    “Di luar tanggal merah dan hari rayamu, kamu dapat cuti berbayar?” saya bertanya.
    “Dapat 12 kali setahun pak, tapi nggak pernah saya ambil” manajer personalia menjawab.
    “Tapi kamu dapat uang pengganti bukan?” saya bertanya.
    “Iya pak, kan itu hak saya,” ia beralasan.
    Kalau kamu memilih menukarkan hak 12 kali cutimu dengan uang, sementara mereka memilih menggunakan 12 kali hak cuti mereka untuk sibuk mempersiapkan upacara dan persembahyangan, kamu pikir mereka lebih serakah dari dirimu?” saya bertanya.
    Belum lagi manajer personalia menjawab, mister GM nongol lagi sambil ngomel, “Gusti, kamu benar soal hitung-hitungan angka.”
    “So?” saya bertanya.
    “Tapi seringnya mereka [staf Bali] libur membuat operasional terhambat,” ia melayangkan serangan babak keduanya.
    (lanjut ke sub-judul di bawah…)

    Efektifitas Itu Soal Disiplin Diri, Bukan Soal Libur-atau-Tak Libur

    Sebuah Headline di Republika hari ini [Anggara Pon, Dungulan, 26/3 2013] berjudul “Mulai Selasa Kantor di Bali Libur Lima Hari,” menyoroti lamanya libur di Bali.
    Reporter (penulis)nya, Ahmad Baraas, menuliskan:
    “Setelah libur Nyepi hampir sepekan pada pertengahan Maret lalu, mulai Selasa (26/3), kantor-kantor pemerintah di Bali mendapat libur fakultatif untuk merayakan Galungan selama tiga hari. Namun, karena pada Jumat (29/3) adalah hari libur nasional Wafat Isa Almasih, maka libur di Bali menjadi lima hari dengan Sabtu atau enam hari dengan hari Ahad.”
    Dan karena itulah maka seorang warga sesetan bernama Emi terpaksa menunda proses pembuatan KTP nya di kantor Kecamatan Denpasar Selatan.
    Warga lainnya bernama Untung S juga mengaku terpaksa harus bersabar untuk urusan melegalisir ijazah temannya di Universitas Udayana, Denpasar.
    Apa yang disampaikan oleh Emi dan Untung S dalam headlinenya Republika itu mirip dengan apa yang disampaikan oleh GM di kantor saya 5-6 tahun lalu bahwa, seringnya libur di Bali—sehingga Bali diplesetkan menjadi “Banyak Libur”—membuat banyak aktivitas dan operasional terhambat, mengakibatkan inefektifitas atau pemborosan.
    Posisi saya yang mengelola departemen keuangan, akuntansi, personalia/legal dan informasi teknologi, membuat saya sering berurusan dengan pihak luar, supplier, customer, termasuk instansi pemerintah—di daerah maupun pusat.
    Di daerah, betul apa yang dituturkan oleh Emi maupun Untung S.
    Sementara di Pusat (dan luar Bali pada umumnya), bukan hanya instansi pemerintah melainkan juga swasta, mereka bisa libur sampai 2 minggu berturut-turut meskipun resminya hanya 2 hari. Demikian halnya dengan customer di luar negeri yang berlibur 2-3 minggu selama Natal dan Tahun Baru. Konkretnya:
    • Ketika membeli barang di luar Bali untuk keperluan perusahaan (supply bahan baku, bahan penolong atau stasionary), saya harus bersabar hingga 2 minggu menunggu barang tiba di Bali—karena tertahan di Jawa pada saat musim Idul Fitri.
    • Pada saat mengurus legalitas (imigrasi, bea cukai, BKPM, dan lain sebagainya), saya juga harus sabar menunggu sampai mereka kembali ke Jakarta setelah liburan ke kampung mereka masing-masing selama 2 minggu—meskipun resminya tanggal merah hanya 2 hari.
    • Dan ketika menagih customer di luar negeri sana, saya harus maklum jika invoice tagihan staf saya tertahan selama 2-3 minggu, belum bisa dibayar, jika kebetulan jatuh tempo saat musim liburan Natal dan Tahun Baru di Eropa dan Amerika Serikat sana.
    Sayangnya, saya tak pernah menemukan wartawannya Republika, sehingga kasus saya tidak terekspose ke publik.
    Dan…
    Bedanya, saya tak membiarkan libur-libur panjang mereka sampai menghambat aktivitas 4 departemen yang saya pimpin. Saya tidak mau membiarkan operasional perusahaan terganggu.
    Caranya?
    Tidak dengan mengeluh, tidak dengan menyalahkan hari libur. Melainkan dengan mengatur jadwal—jauh-jauh hari—sedemikian rupa, sehingga tidak berbenturan dengan hari Libur 2 minggu itu.
    Libur-libur hari raya itu (Hindu, Islam, Kristen, Katolik, Budha, Kong Hucu) sudah saya ketahui sejak awal tahun—begitu kalender baru keluar. Selanjutnya tinggal saya atur bagaimana caranya agar aktivitas saya tidak jatuh di hari-hari libur itu:
    • Mengetahui Jakarta akan libur 2 minggu untuk Idul Fitri, maka saya meminta bagian ‘Purchasing‘ memajukan tanggal pemesanan barang hingga bisa terkirim sebelum libur itu tiba.
    • Mengetahui kantor Bea Cukai/Imigrasi/BKPM Jakarta akan kosong selama 2 minggu, maka saya meminta bagian ‘Legal‘ mengirimkan dokumen jauh-jauh hari sebelumnya.
    • Mengetahui customer di Eropa dan Amerika tidak bisa merealisasikan pembayaran selama libur Natal dan Tahun Baru, maka saya meminta staf accounting (Accounts Receivable) mengirimkan invoice sebulan sebelumnya atau setelahnya. 
    Intinya, saya memilih untuk berdisiplin ketimbang mengeluhkan inefektifitas akibat libur Hari Raya. Saya memandang persoalan efektif atau tak efektif sebagai persoalan mampu-atau-tidaknya menerapkan disiplin diri, mampu-atau-tidaknya mengelola perencanaan kerja dengan ‘time table‘ dan kalender yang jelas, bukan soal libur-atau-tak libur.
    Emi, warga Sesetan, Danpasar Selatan itu tahu kapan tanggal kedaluarsa KTP-nya—jauh sebelum libur Nyepi dan Galungan Tiba. Untung S juga demikian. Kasus mereka bukan kasus ibu-ibu melahirkan yang tiba-tiba saja ‘bukaan ke-3‘ dan harus digotong ke UGD, tanpa bisa diprediksi sebelumnya.
    Mister GM dan Manajer Personalia tahu kapan libur Nyepi dan Hari Raya Galungan tiba. Dan sebagai manajer mestinya mereka punya ‘time-table’ dan ‘kalender kerja’ tahunan yang jelas, sehingga tidak menjadikan hari-hari libur sebagai dalih untuk inefektifitas.
    Bedanya:
    • Mereka lebih banyak mengunakan pikiran mencari dalih untuk menutupi kelemahan mereka sendiri (dalam mengelola waktu) ketimbang mencari solusi dan belajar disiplin, sedangkan saya tidak.
    • Saya tahu caranya—dan dengan kesadaran penuh—menerapkan prinsip “dimana tanah dipijak di sana langit dijunjung,” sementara mereka tidak.
    Itulah yang saya jelaskan kepada mister GM dan Manajer Personalia, pada saat itu. Kepada Mister GM saya katakan:
    “This organization has been operating in Bali for tens of year, without any problems. If you have no clear time-table and annual calender, you’re obviously in a serious problem. And that is yours, not mine neither theirs [the Balinese workers]. You ought your professionalism and this organization to correct and make your mind up.”
    Dan kepada manajer personalia itu saya katakan:
    “Kalau kamu tidak bisa menjalankan fungsi personalia dengan baik dan efektif, hanya karena libur Galungan, kamu berhak mengajukan surat pengunduran diri, sekarang. Saya tak ada masalah, bisa mencari pengganti kapanpun.”
    Karena sudah sore, sayapun meninggalkan kantor dengan perasaan yang sulit dideskripsikan dengan kata-kata.
    Dalam perjalanan pulang, setengah melamun saya berpikir, begitu sulitnya memperjuangkan hak libur Galungan di pulau yang mayoritasnya pemeluk Hindu ini; sampai harus menghabiskan waktu berjam-jam dan entah berapa kadar emosi, hanya untuk memintakan hak yang memang hak mereka, BUKAN meminta uluran tangan. Begitu sulitnya merangsang kerja otak orang agar bisa mengawinkan local-genius wisdom dengan logika fragmatis berbasis ego-sentrik.

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar